Kamis, Juni 11, 2009

Hidup di Jakarta itu Mahal


Jakarta merupakan kota metropolitan yang paling menarik minat para pendatang terutama yang berasal dari daerah pedesaan untuk mengadu nasib. Banyak orang yang berpikiran bahwa di kota ini, mencari pekerjaan akan lebih mudah daripada di daerah asalnya. Justru tidak hanya para pendatang yang kemudian sulit mencari kerja, tetapi penduduk aslinya pun ikut bersaing memperebutkan lahan pekerjaan.

Semrawut, macet, dan padat itulah kesan yang biasanya ada dibenak banyak orang tentang Kota Jakarta. Jakarta merupakan salah satu kota yang menarik minat banyak orang dari segala kalangan untuk datang dan mengadu nasib di tempat ini. Berbagai macam pekerjaan tersedia di tempat ini, tetapi hanya sedikit orang yang dapat sukses disini. Tidak sedikit orang yang akhirnya hanya menganggur sa
ja dan menambah padat kota ini dengan pemukiman-pemukiman yang tidak memiliki ijin untuk mendirikan bangunan, jadilah kota ini berantakan.

Marsum (34) adalah salah satu pendatang yang berasal dari Kebumen. Ia datang ke Jakarta untuk mengadu nasib karena di desanya ia tidak memiliki pekerjaan dan ia berpendapat bahwa di Jakarta pendapatannya akan lebih banyak daripada di desa. Ternyata di Jakarta, ia hanya dapat bekerja sebagai pencari kayu bakar yang nantinya akan ia jual kepada pembuat tempe untuk dipakai saat merebus kedelai. Ia mendapatkan kayu bakar dimana saja, terutama kalau ada orang yang membuang dan memberikan kayu itu untuknya. Pendapatan yang ia dapatkan dari mengumpulkan kayu bakar, hanya dihargai 25 ribu oleh pembuat tempe setiap harinya atau bahkan tidak dapat sama sekali.

Selain ia bekerja sebagai pengumpul kayu bakar, ia juga memiliki pekerjaan yang lain. Biasanya kalau ada orang y
ang memerlukan tenaga untuk kuli bangunan, ia langsung menawarkan dirinya untuk bekerja sebagai kuli bangunan. Dengan penghasilan 40 ribu perhari yang didapatkan dengan menjadi kuli bangunan, dinilai cukup lumayan untuk menghidupinya sehari-hari dibandingkan dengan berjualan kayu bakar. “Itu saya bekerjanya di perumahan bukan di proyek. Kadang-kadang disuruh kerja disitu. Tapi sekarang lagi ga ada yang butuh kuli,” ujarnya. Pekerjaannya menjadi kuli bukan di sebuah proyek yang besar, tetapi hanya di perumahan saja.

Selain Marsum yang merupakan pendatang di Jakarta, ada banyak penduduk asli Jakarta yang justru kesejahteraannya masih kurang padahal ia berada di tanah kelahirannya. Dan lagi-lagi pendapatannya masih dinilai kurang untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya untuknya maupun keluarganya. Jarkasih (47) merupakan penduduk asli Jakarta yang hanya dapat bekerja sebagai tukang servis reparasi di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Jarkasih yang bertempat tinggal di sekitar daerah Terogong, Jakarta Selatan hanya memiliki pendapatan 800 ribu sebulannya. Pendapatannya dinilai sangat kurang karena biaya sekolah untuk anaknya sangat besar, apalagi ia memiliki 4 orang anak. Mutarom (17), Ajis (15), Dedi (13), dan Hepi merupakan anak-anak Jarkasih yang masih dibiayai hidupnya sampai sekarang.

Pria yang memiliki istri bernama Karsilah ini, mengaku bahwa hidup di Jakarta kini makin sulit, apalagi sekarang harus semakin bersaing dengan para pendatang yang juga mengadukan nasibnya di tanah kelahirannya. Biaya kehidupan yang semakin meningkat membuat kesejahteraan mereka menjadi sangat kurang. Untuk berobat ke rumah sakit pun masih banyak penduduk yang kurang mampu karena biaya rumah sakit atau dokter yang terlampau mahal. “Kadang kalau sakit ya ke dokter, ya kalau ga ada duit cuma pakai obat warung saja lah. Habis murah sih,” kata Jarkasih. Ia tidak memiliki Kartu Rakyat Miskin (RasKin) sebagai pengantar untuk berobat kerumah sakit karena ia pun tidak mengetahui apa kegunaannya dan bagaimana cara membuatnya.

Tidak ada bedanya dengan Jarkasih, Marsum pun hanya membeli obat warung apabila ia sedang sakit. Kalau penyakitnya menjadi semakin parah, ia akan pulang ke daerah asalnya untuk berobat disana. “Kalau kira-kira sakitnya parah, saya takut sih. Jadi mendingan pulang saja dan berobat disana,” sahut Marsu
m sambil tersenyum. Ia juga mengaku bahwa ia tidak memiliki Kartu Raskin karena ia tidak tahu cara membuatnya, tetapi banyak tetangganya yang sudah memiliki kartu tersebut untuk digunakan berobat di Puskesmas.

Walaupun dalam sisi kesehatan Marsum kurang mampu untuk pergi ke rumah sakit, ternyata ia memiliki beberapa barang-barang elektronik untuk mendukung kehidupannya. Ia memiliki televisi dan handphone dirumahnya. Handphone ia gunakan apabila ia sedang rindu pada keluarganya yang ada di Kebumen. Tetapi dalam hal dapur, ia tidak memasak menggunakan kompor gas ataupun kompor minyak tanah. Ia hanya menggunakan tungku dan kayu bakar untuk memasak. Sebagian kayu bakar yang telah dikumpulkannya, digunakan untuk memasak dirumahnya. Sedangkan kayu bakar yang lain dijual ke pembuat tempe. Berbeda dengan Marsum, Jarkasih tidak memiliki satu pun barang elektronik. Biasanya untuk menonton televisi atau mendengarkan radio, ia harus datang ke tetangganya untuk menikmatinya bersama.
Tempat tinggal Marsum dan Jarkasih sama-sama berbentuk bedeng-bedeng yang terbuat dari triplek dan memiliki atap yang terbuat dari seng. Marsum bertempat tinggal di daerah Pondok Pinang, Jakarta Selatan bersama dengan teman-temannya. Sedangkan Jarkasih tinggal di daerah Terogong, Jakarta Selatan bersama dengan istri dan anak-anaknya. Rumah mereka berdua sama-sama tidak memiliki ijin untuk mendirikan bangunan. Rumah Jarkasih yang berada di daerah Terogong san
gat kontras sekali dengan keadaan disekitarnya yang terlihat mewah, terutama di daerah Pondok Indah. Rumah yang diapit diantara dua sekolah yang tergolong sangat elit, yaitu Jakarta International School dan Tirta Marta BPK Penabur itu menjadi terlihat kumuh.

Dengan kehidupan yang sekarang mereka jalani di Jakarta ini, mereka masih merasa kurang sejahtera dan memiliki pendapatan yang tidak seberapa dengan pengeluaran yang harus mereka keluarkan untuk biaya kehidupannya. Hal tersebut membuat mereka merasa pesimis untuk mendapatkan pendapatan yang sesuai dengan biaya kehidupan mereka dan bahkan lebih. Kini mereka hanya bisa berangan-angan untuk mendapatkan uang yang cukup untuk membuat suatu usaha yang nantinya akan dapat menopang kehidupan mereka.

Sekarang bagaimana peran pemerintah membuat orang-orang seperti pak Marsum dan Jarkasih untuk mendapatkan kehidupan yang layak terutama di ibukota kita ini? Hanya para caleg yang tahu,,, hehehe...(CC)

6 komentar:

  1. JAKARTA MEMANG MAHALLL DAN TIDAK ENAK UNTUK DIHUNII..
    makaanyaaa.. bertahanlah di bandung selama kamu bisa..hihihi

    BalasHapus
  2. wah Bandung juga udah hampir seperti Jakarta..
    tapi bedanya lebih adem... hoho

    BalasHapus
  3. Kehidupan di jakarta emang mhal ! lebih enak di daerah . jakarta udah terlalu semrawut ! hidup di jakarta enak klo lg lebaran tiba, semua aman terkendali ...

    BalasHapus
  4. udah tau hidup di jkt susah, tapi kenapa tiap taun penduduk jkt bertambah ya? apa kesejahteraan mereka di kota masing2 kurang terpenuhi? padahal menurut saya, kota mereka menjanjikan hal lain yang lebih baik dari jkt.

    BalasHapus
  5. makanya saya hidup di bandung.. hehehe

    BalasHapus
  6. gue jg ga mau hidp di jkt lagi. mau dibdg aja aaah.. hehehee

    BalasHapus

teman... maaf sumbernya ketinggalan neh.
Sumber: http://cyberjournalism.wordpress.com/2007/08/07/hello-world/
Selamat memberikan komentar